Untuk jenjang sekolah, yang belum mahasiswa, pemakaian kriteria ketuntasan minimal (kkm) semestinya ditiadakan. Pola pikir bagaimana kemendiknas yang dikedepankan. Fenomena contek massal UN dan UASBN itu dipicu pemberian nilai yang superbig. Bukan UN yang bermasalah, tetapi standarnya yang bermasalah. Siswa yang tiap ulangan harian atau ulangan midsemester atau semester selalu buruk, akan begitu untuk nilai UN/UASBN. Gelas yang kapasitasnya 150 CC dimuati dengan 200 CC air, akan luber 50 CC. Itu sebuah penggambaran muntahan-muntahan yang dipaksakan kepada siswa-siswa yang terbatas. Sekalinya bagus melalui jalan katrol dengan KKM.
Anak SD di Surabaya, itu korban kebijakan pendidikan di Indonesia yang tidak bijaksana. Kalau dulu nilai 5,00 di NEM (nilai evaluasi murni), sekarang nilai tersebut setara dengan 7,00 atau 8,00 karena disulap. Indonesia tidak perlu menunjukkan pada dunia, bahwa nilai murid-murid Indonesia rata-rata sudah 7,00. Omong kosong itu, yang dapat segitu hanya segelintir siswa. Selebihnya dikatrol dengan terang-terangan atau samar-samar. Siswa yang semestinya mendapat nilai UN di bawah 5,50, karena kompetensinya yang tidak bagus, secara tiba - tiba nilainya di atas 5,50, bahkan disulap menjadi 6,50 atau 7,50 bahkan dapat mencapai 9,00 tergantung yang menyulapnya. Lebih baik menggunakan sistem lama saja, yaitu Nilai Evaluasi Murni, supaya segalanya serba transparan dan tahu kemampuan lulusannya.
Berganti dari Kemendiknas menjadi Kemendikbud atau apapun namanya itu, tidak akan mengubah kebohongan dalam penampilan kulit luar kesalahan di sistem pendidikan kita. Mau soal dibedakan dalam 5 paket soal, bahkan 10 paket soal tidak akan meruntuhkan minat sebagian kalangan untuk menyukseskan perolehan hasil UN atau UASBN sekolahnya. Pressure terjadi di mana-mana, tidak hanya pemilu dan pemilukada, di ranah evaluasi/ujian pun terjadi tekanan berat terhadap kinerja guru. Guru diminta berbohong, agar penampakkan luar kebobrokan sistem tidak kentara. Hiduplah kebohongan itu !!!
Blog : pijunakhdan.blogspot.com oleh Azis Syahrul.
Anak SD di Surabaya, itu korban kebijakan pendidikan di Indonesia yang tidak bijaksana. Kalau dulu nilai 5,00 di NEM (nilai evaluasi murni), sekarang nilai tersebut setara dengan 7,00 atau 8,00 karena disulap. Indonesia tidak perlu menunjukkan pada dunia, bahwa nilai murid-murid Indonesia rata-rata sudah 7,00. Omong kosong itu, yang dapat segitu hanya segelintir siswa. Selebihnya dikatrol dengan terang-terangan atau samar-samar. Siswa yang semestinya mendapat nilai UN di bawah 5,50, karena kompetensinya yang tidak bagus, secara tiba - tiba nilainya di atas 5,50, bahkan disulap menjadi 6,50 atau 7,50 bahkan dapat mencapai 9,00 tergantung yang menyulapnya. Lebih baik menggunakan sistem lama saja, yaitu Nilai Evaluasi Murni, supaya segalanya serba transparan dan tahu kemampuan lulusannya.
Berganti dari Kemendiknas menjadi Kemendikbud atau apapun namanya itu, tidak akan mengubah kebohongan dalam penampilan kulit luar kesalahan di sistem pendidikan kita. Mau soal dibedakan dalam 5 paket soal, bahkan 10 paket soal tidak akan meruntuhkan minat sebagian kalangan untuk menyukseskan perolehan hasil UN atau UASBN sekolahnya. Pressure terjadi di mana-mana, tidak hanya pemilu dan pemilukada, di ranah evaluasi/ujian pun terjadi tekanan berat terhadap kinerja guru. Guru diminta berbohong, agar penampakkan luar kebobrokan sistem tidak kentara. Hiduplah kebohongan itu !!!
Blog : pijunakhdan.blogspot.com oleh Azis Syahrul.